Beranda | Artikel
Bab tentang Dimakruhkannya Mengambil Kembali Pemberian
Kamis, 25 Juli 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Mubarak Bamualim

Bab tentang Dimakruhkannya Mengambil Kembali Pemberian adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 17 Al-Muharram 1446 H / 23 Juli 2024 M.

Kajian Tentang Larangan Menyiksa Budak

Pembahasan kita sampai pada bab tentang dibencinya atau dimakruhkannya seseorang mengambil kembali pemberian yang diberikan kepada orang lain, baik yang telah diberikan ataupun yang belum. Kadang-kadang ada orang yang berkata kepada temannya, misalnya, “Kamu akan saya berikan ini.” Itu tidak boleh dibatalkan, harus diberikan, dan tidak boleh diambil kembali jika sudah diberikan.

Demikian pula, tercelanya atau dimakruhkannya mengambil kembali pemberian yang telah diberikan kepada anaknya, baik dia telah memberikan atau belum. Demikian pula, dibencinya atau dimakruhkannya membeli kembali suatu barang yang sudah disedekahkan kepada orang yang diberikan sedekah, atau seorang yang sudah mengeluarkan zakat dan membayar kafarah, maka tidak boleh dia membeli kembali apa yang telah dia keluarkan. Dan tidak mengapa membeli barang yang sudah dihibahkan atau disedekahkan tersebut jika sudah berpindah ke tangan orang lain.

Ini yang akan dibahas oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah, yang akan membawakan sejumlah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah ini. Islam mengajarkan kepada kita moral dan akhlak yang baik, yaitu jika seseorang sudah memberikan pemberian kepada orang lain, hendaknya dia berikan dengan ikhlas dan tidak boleh mengambil kembali apa yang telah diberikannya. Nanti ada pengecualian, yaitu pemberian seorang ayah kepada anaknya, maka dia boleh mengambilnya kembali. Pengecualian ini akan dijelaskan dalam hadits.

Kemudian, Islam mengajarkan kepada kita tentang pemberian kepada anak yang sebaiknya tidak diambil kembali. Jika seseorang memberikan sedekah, maka tidak boleh dia mengambil lagi sedekah tersebut. Hal ini juga berlaku dalam masalah-masalah berkaitan dengan zakat.

Misalnya, seseorang mengeluarkan zakat hewan dan memberikannya kepada seseorang. Maka, tidak boleh dia membeli kembali zakat yang sudah diberikan tersebut. Namun, dia boleh membeli jika barang sedekah itu sudah berpindah ke orang lain. Misalnya, di antara zakat yang dikeluarkan adalah zakat hewan, seperti zakat binatang ternak.

Contohnya, seorang mengeluarkan zakat dari binatang ternaknya, misalnya seekor sapi, dan memberikan hewan itu kepada orang yang berhak menerimanya. Jika orang yang menerima zakat tersebut menjual sapi itu kepada orang lain, maka orang yang memberikan zakat boleh membeli dari orang ketiga, tetapi tidak boleh dari orang kedua yang diberikan zakat sapi tersebut. Ini adalah salah satu contoh yang diajarkan dalam Islam.

Adapun hadits yang dibawakan oleh An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala, yaitu hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الَّذِي يَعُودُ في هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَرْجِعُ في قَيْئِهِ

“Orang yang mengambil kembali pemberiannya (setelah diberikan kepada seseorang), perumpamaannya sama dengan seekor anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda bahwa orang yang mengambil kembali pemberiannya sama dengan seekor anjing yang muntah kemudian makan kembali muntahannya. Ini hal yang sangat menjijikkan. Perumpamaan ini menunjukkan betapa buruknya tindakan mengambil kembali hibah yang telah diberikan.

An-Nawawi menyebutkan dalam babnya bahwa ini adalah satu hal yang makruh. Tapi sebagian ulama mengatakan mengambil kembali hibah yang telah diberikan kepada seseorang hukumnya haram, bukan sekadar makruh, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan perumpamaan dengan binatang yang paling buruk dan dalam keadaan yang paling buruk, yaitu anjing yang muntah dan makan muntahnya. Ini adalah peringatan supaya seorang mukmin tidak melakukan hal tersebut.

Di dalam riwayat Imam Al-Bukhari tentang hadits ini, Nabi ‘Alaihish Shalatu was Salam bersabda,

ليسَ لنا مَثَلُ السَّوْءِ، الذي يَعُودُ في هِبَتِهِ كالكَلْبِ يَرْجِعُ في قَيْئِ

“Kita (orang beriman) tidak ada perumpamaan yang buruk. Orang yang mengambil kembali pemberiannya sama dengan seekor anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahnya.” (HR. Imam Al-Bukhari)

Para ulama menjelaskan makna dari hadits ini, artinya tidak sepatutnya bagi seorang mukmin memiliki sifat yang tercela. Yang mana perumpamaannya seperti perumpamaan binatang yang paling buruk dan berada dalam keadaan paling buruk. Anjing adalah binatang najis, mulutnya najis, tubuhnya najis, dan dia muntah kemudian makan muntahnya. Perumpamaannya binatang yang najis melakukan sesuatu yang amat menjijikkan.

Dari sinilah kemudian sebagian ulama mengatakan haram bagi seorang yang sudah memberikan sesuatu kemudian mengambil kembali pemberian tersebut.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54316-bab-tentang-dimakruhkannya-mengambil-kembali-pemberian/